Longsor atau sering juga disebut gerakan tanah merupakan perpindahan massa batuan, tanah, atau percampuran antara keduanya yang bergerak menuruni lereng karena pengaruh gravitasi. Kendati disebut gerakan tanah, sejatinya longsor bisa juga terjadi pada batuan. Salah satu longsor pada lereng yang tersusun dari batuan atau disebut juga tebing ialah jatuhan batu (rock fall).
Dibandingkan dengan longsor pada material tanah, jatuhan batu relatif jarang terjadi. Dari seluruh kejadian gerakan tanah, hanya 1,3% yang termasuk tipe jatuhan batu. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada pada iklim tropis membuat batuan lebih mudah lapuk sehingga membentuk tanah pelapukan yang relatif tebal di permukaan.
Akan tetapi, potensi ancaman jatuhan batu sebenarnya lebih berbahaya dibanding longsor pada material tanah. Berdasarkan database kejadian gerakan tanah PVMBG pada periode 2014-2017 saja, korban meninggal akibat jatuhan batu berjumlah 12 orang dari total 14 kejadian. Artinya, hampir selalu ada korban jiwa pada setiap kejadian jatuhan batu. Selain itu, jika material tanah umumnya hanya terjadi saat curah hujan yang tinggi, maka jatuhan batu bisa terjadi bahkan di musim kemarau sekalipun.
Sebagian besar korban jiwa pada bencana jatuhan batu berada pada lokasi objek wisata, terutama air terjun dan tebing pantai (clift). Setidaknya ada 2 kejadian jatuhan batu pada tahun 2015 lalu serta satu kejadian pada tahun 2017 yang menimbulkan korban jiwa. Kejadian jatuhan batu tersebut terjadi tanpa didahului hujan deras sebelumnya.
Jatuhan Batu Daerah Pantai
Jatuhan batu di daerah pantai sering terjadi pada tebing pantai (cliff) dengan ceruk di bawahnya yang terbentuk akibat abrasi ombak pantai. Posisi tebing yang menggantung akibat abrasi, disertai rekahan alami pada batuan penyusun tebing menjadi pemicu berkurangnya kestabilan lereng tebing tersebut. Sistem akar dari vegetasi di bagian atas tebing membuat retakan menjadi bertambah lebar dan mudah melapuk akibat berinteraksi dengan air permukaan. Rapatnya vegetasi membuat retakan menjadi tidak terlihat sehingga ceruk di bawahnya dianggap aman untuk tempat berteduh bagi para wisatawan.
Tebing pantai dengan ceruk yang terus terkena hantaman ombak berpotensi lebih besar untuk runtuh dibanding tebing yang jarang terkena ombak pantai. Hantaman ombak selain akan mengikis batuan dalam ceruk, juga menimbulkan getaran kecil saat menghantam tebing. Getaran ini dapat mempengaruhi kuat geser batuan penyusun tebing. Bidang rekahan merupakan bagian yang paling rentan terhadap getaran yang dapat membuat lebar rekahan bertambah besar. Jika rekahan terus berkembang hingga saling berpotongan, maka tebing bisa runtuh sewaktu-waktu tanpa harus dipicu oleh hujan deras.
Jatuhan Batu Di Lokasi Airterjun
Airterjun atau curug merupakan lokasi yang paling sering terjadi jatuhan batu. Pelapukan batuan yang disebabkan oleh infiltrasi air sungai ke dalam batuan penyusun lereng menjadi pengontrol utama jatuhan batu di airterjun. Infiltrasi air sungai akan semakin besar oleh penetrasi akar dari pepohonan yang membentuk rekahan pada batuan yang menjadi jalan air.
Bagian dari airterjun yang paling banyak terkena infiltrasi air sungai ialah bagian atas yang berinteraksi langsung dengan sungai. Walaupun tebing airterjun tersusun oleh batuan keras, kerja sama antara penetrasi akar dan air sungai dapat membentuk rekahan pada batuan tersebut. Semakin jenuh batuan tersebut, semakin mudah pelapukan terjadi yang semakin lama akan mengurangi kestabilan lereng di sekitar air terjun.
Batuan yang telah melapuk itu pun kehilangan kestabilannya dan runtuh bersama pepohonan yang tumbuh di atasnya. Material yang jatuh secara gravitasional tersebut dapat menimpa orang yang sedang beraktifitas di bawah airterjun.
Upaya Mitigasi Jatuhan Batu
Airterjun dan pantai merupakan lokasi wisata yang cukup digemari. Tak jarang para wisatawan akan terpusat dekat dengan tebing batuan. Di daerah pantai, tebing batuan sering menjadi lokasi berteduh para wisatawan. Di bagian atasnya, sering terdapat fasilitas wisata untuk memandang area pantai dari ketinggian. Airterjun selalu berada di tebing batuan yang curam. Curahan air yang jatuh dari ketinggian menjadi daya tarik wisatawan untuk berkumpul di bawah tebing, menikmati segarnya air yang jatuh dari tebing.
Oleh karena itu, tebing batuan di lokasi wisata perlu mendapat perhatian lebih. Kendati jarang terjadi, namun potensi jatuhan batu tetap ada. Keberadaan bongkah bebatuan di dasar tebing dapat dijadikan petunjuk awal seberapa besar potensi jatuhan batu di tebing tersebut.
Sebaiknya hindari pendirian bangunan permanen di bagian atas tebing, terutama tebing dengan ceruk di bagian bawahnya. Keberadaan bangunan permanen tersebut merupakan beban tambahan pada lereng. Perlu dilakukan perkuatan pada lereng sebelum dibangun fasilitas tersebut. Bangunan semi permanen dengan konstruksi ringan lebih direkomendasikan.
Perlu dibuat papan pengumuman atau rambu-rambu lokasi rawan longsor di kawasan wisata. Pengawasan dari pengelola wisata menjadi kunci dalam mitigasi jatuhan batu di lokasi wisata, terutama saat musim liburan, puncak dari kunjungan wisatawan.
Selain pantai dan airterjun, jatuhan batu juga kerap terjadi di jalur jalan. Namun, selama proses pemotongan lereng saat pembuatan jalan tidak melanggar kaidah kestabilan lereng, potensi jatuhan batu di jalur jalan dapat dihindari.
Dimuat juga dalam Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Kamis, 7 September 2017