Longsor atau sering juga disebut gerakan tanah merupakan perpindahan massa batuan, tanah, atau percampuran antara keduanya yang bergerak menuruni lereng karena pengaruh gravitasi. Kendati disebut gerakan tanah, sejatinya longsor bisa juga terjadi pada batuan. Salah satu longsor pada lereng yang tersusun dari batuan atau disebut juga tebing ialah jatuhan batu (rock fall).

Dibandingkan dengan longsor pada material tanah, jatuhan batu relatif jarang terjadi. Dari seluruh kejadian gerakan tanah, hanya 1,3% yang termasuk tipe jatuhan batu. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada pada iklim tropis membuat batuan lebih mudah lapuk sehingga membentuk tanah pelapukan yang relatif tebal di permukaan.

Akan tetapi, potensi ancaman jatuhan batu sebenarnya lebih berbahaya dibanding longsor pada material tanah. Berdasarkan database kejadian gerakan tanah PVMBG pada periode 2014-2017 saja, korban meninggal akibat jatuhan batu berjumlah 12 orang dari total 14 kejadian. Artinya, hampir selalu ada korban jiwa pada setiap kejadian jatuhan batu. Selain itu, jika material tanah umumnya hanya terjadi saat curah hujan yang tinggi, maka jatuhan batu bisa terjadi bahkan di musim kemarau sekalipun.

Sebagian besar korban jiwa pada bencana jatuhan batu berada pada lokasi objek wisata, terutama air terjun dan tebing pantai (clift). Setidaknya ada 2 kejadian jatuhan batu pada tahun 2015 lalu serta satu kejadian pada tahun 2017 yang menimbulkan korban jiwa. Kejadian jatuhan batu tersebut terjadi tanpa didahului hujan deras sebelumnya.

Jatuhan Batu Daerah Pantai

Jatuhan batu di daerah pantai sering terjadi pada tebing pantai (cliff) dengan ceruk di bawahnya yang terbentuk akibat abrasi ombak pantai. Posisi tebing yang menggantung akibat abrasi, disertai rekahan alami pada batuan penyusun tebing menjadi pemicu berkurangnya kestabilan lereng tebing tersebut. Sistem akar dari vegetasi di bagian atas tebing membuat retakan menjadi bertambah lebar dan mudah melapuk akibat berinteraksi dengan air permukaan. Rapatnya vegetasi membuat retakan menjadi tidak terlihat sehingga ceruk di bawahnya dianggap aman untuk tempat berteduh bagi para wisatawan.

DSC_0957

Pantai Baron di Gunung Kidul, salah satu pantai yang memiliki tebing (clift) dengan ceruk di bawahnya.

Tebing pantai dengan ceruk yang terus terkena hantaman ombak berpotensi lebih besar untuk runtuh dibanding tebing yang jarang terkena ombak pantai. Hantaman ombak selain akan mengikis batuan dalam ceruk, juga menimbulkan getaran kecil saat menghantam tebing. Getaran ini dapat mempengaruhi kuat geser batuan penyusun tebing. Bidang rekahan merupakan bagian yang paling rentan terhadap getaran yang dapat membuat lebar rekahan bertambah besar. Jika rekahan terus berkembang hingga saling berpotongan, maka tebing bisa runtuh sewaktu-waktu tanpa harus dipicu oleh hujan deras.

Jatuhan Batu Di Lokasi Airterjun

Airterjun atau curug merupakan lokasi yang paling sering terjadi jatuhan batu. Pelapukan batuan yang disebabkan oleh infiltrasi air sungai ke dalam batuan penyusun lereng menjadi pengontrol utama jatuhan batu di airterjun. Infiltrasi air sungai akan semakin besar oleh penetrasi akar dari pepohonan yang membentuk rekahan pada batuan yang menjadi jalan air.

Bagian dari airterjun yang paling banyak terkena infiltrasi air sungai ialah bagian atas yang berinteraksi langsung dengan sungai. Walaupun tebing airterjun tersusun oleh batuan keras, kerja sama antara penetrasi akar dan air sungai dapat membentuk rekahan pada batuan tersebut. Semakin jenuh batuan tersebut, semakin mudah pelapukan terjadi yang semakin lama akan mengurangi kestabilan lereng di sekitar air terjun.

Batuan yang telah melapuk itu pun kehilangan kestabilannya dan runtuh bersama pepohonan yang tumbuh di atasnya. Material yang jatuh secara gravitasional tersebut dapat menimpa orang yang sedang beraktifitas di bawah airterjun.

995621_10202008037175641_1296636080_n

Curug Citambur di Cianjur yang berada pada tebing atau gawir terjal, bebatuan di dasar curug menunjukkan bahwa jatuhan batu pernah terjadi

Upaya Mitigasi Jatuhan Batu

Airterjun dan pantai merupakan lokasi wisata yang cukup digemari. Tak jarang para wisatawan akan terpusat dekat dengan tebing batuan. Di daerah pantai, tebing batuan sering menjadi lokasi berteduh para wisatawan. Di bagian atasnya, sering terdapat fasilitas wisata untuk memandang area pantai dari ketinggian. Airterjun selalu berada di tebing batuan yang curam. Curahan air yang jatuh dari ketinggian menjadi daya tarik wisatawan untuk berkumpul di bawah tebing, menikmati segarnya air yang jatuh dari tebing.

Oleh karena itu, tebing batuan di lokasi wisata perlu mendapat perhatian lebih. Kendati jarang terjadi, namun potensi jatuhan batu tetap ada. Keberadaan bongkah bebatuan di dasar tebing dapat dijadikan petunjuk awal seberapa besar potensi jatuhan batu di tebing tersebut.

Sebaiknya hindari pendirian bangunan permanen di bagian atas tebing, terutama tebing dengan ceruk di bagian bawahnya. Keberadaan bangunan permanen tersebut merupakan beban tambahan pada lereng. Perlu dilakukan perkuatan pada lereng sebelum dibangun fasilitas tersebut. Bangunan semi permanen dengan konstruksi ringan lebih direkomendasikan.

Perlu dibuat papan pengumuman atau rambu-rambu lokasi rawan longsor di kawasan wisata. Pengawasan dari pengelola wisata menjadi kunci dalam mitigasi jatuhan batu di lokasi wisata, terutama saat musim liburan, puncak dari kunjungan wisatawan.

Selain pantai dan airterjun, jatuhan batu juga kerap terjadi di jalur jalan. Namun, selama proses pemotongan lereng saat pembuatan jalan tidak melanggar kaidah kestabilan lereng, potensi jatuhan batu di jalur jalan dapat dihindari.

 

Dimuat juga dalam Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Kamis, 7 September 2017

Port of Namlea Bupolo. Gerbang pelabuhan Namlea menyambut para penumpang yang baru turun dari Kapal Cantika Lestari 99. Ojek dan jasa angkutan umum lain sudah siap menawarkan jasanya kepada para penumpang setelah terombang-ambing selama kurang lebih 7 jam pelayaran dari Ambon. Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat, hanya beberapa lampu sorot yang menerangi dermaga saat itu. Cukup untuk membantu penglihatan para anak buah kapal dan kuli pelabuhan menurunkan muatan kapal. Selebihnya, tak banyak yang bisa diamati di sekitar pelabuhan.

Namlea merupakan Ibukota Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Pelabuhan di kota kecamatan inilah yang menjadi gerbang para warga untuk berhubungan dengan dunia luar. Adapun Lapangan Terbang milik TNI AU hanya menyediakan 1 maskapai yang melayani penerbangan dari dan menuju Ambon. Jadwal penerbangannya pun paling sering hanya 2 kali dalam seminggu, dengan pesawat bermuatan 12 penumpang. Tak ayal, transportasi laut masih menjadi moda utama untuk berhubungan dengan pulau-pulau sekitar termasuk dengan Kota Ambon, Ibukota Provinsi Maluku.

Dari Namlea, terdapat 2 jalan utama yang terhubung dengan kecamatan lain. Jalur pertama menyusuri Teluk Kayeli menuju bagian tengah pulau melalui kawasan tempat tinggal para mantan tapol tahun 1970-an dan sentra pertanian Kabupaten Buru. Jalur kedua menyusuri pantai di utara pulau yang menghubungkan ujung timur dengan ujung barat pulau. Jalur utara ini melewati kawasan wisata serta calon bandara komersil yang masih dalam tahap pembangunan.

Jejak Tapol di Jalur Teluk

Jalan yang berkelok mengikuti kontur perbukitan savana menjadi pembuka jalur teluk ini. Perbukitan yang belakangan sering disebut Bukit Teletubbies ini sejatinya merupakan lahan tempat pohon kayu putih tumbuh secara liar. Sesuai namanya, pohon ini merupakan sumber utama dari minyak kayu putih yang menjadi komoditi khas Pulau Buru. Proses penyulingan minyak kayu putih ini masih dilakukan secara tradisional oleh penduduk setempat dan dijual dalam ukuran botol kecap seharga Rp. 200.000 per botol. Kekuatan sebuah merek membuat harganya menjadi lebih mahal seperti yang banyak dijual di Ambon sebagai oleh-oleh.

Kayuputih

Tempat penyulingan minyak kayu putih di Pulau Buru. Daun-daun kayu putih ditempatkan di tabung sebelah kiri foto, lalu dipanaskan dengan api yang berasal dari bawah tungku. Uapnya dialirkan ke wadah yang tersedia dalam tabung sebelah kanan foto untuk didinginkan dengan air yang memenuhi tabung tersebut.

Konon, jalan berkelok yang memotong perbukitan tandus ini dibuat secara kerja paksa oleh para tahanan politik atau tapol yang dibuang ke Pulau Buru. Pekerjaan yang terbilang sulit karena mereka harus membelah kaki bukit yang tersusun dari batuan metamorf Formasi Wahlua dengan peralatan seadanya. Jalan ini kini tengah dalam tahap pelebaran dengan sistem cut and fill, yaitu sisi bukit dipapas lalu material yang dipapas digunakan sebagai timbunan pada sisi lerengnya. Pada potongan bukit tersebut, terlihat singkapan yang terdiri dari sekis, kuarsit, batupasir malih, filit dan pualam dari Formasi Wahlua. Kelompok batuan metamorf tersebut tersusun berlapis, banyak rekahan dan agak lapuk. Kondisi fisik batuan yang seperti ini rawan untuk longsor terutama saat musim hujan. Di beberapa tempat, longsor tersebut bahkan sudah terjadi. Perlu adanya struktur penahan lereng atau dipotong lebih landai terutama pada lereng yang kemiringannya searah dengan kemiringan lapisan batuan.

Jalur Tapol

Jalan berkelok mengikuti kontur perbukitan di Jalur Teluk. Tampak pemotongan lereng yang baru dibuat untuk pelebaran jalan, menyingkap batuan metamorf dari Formasi Wahlua. Di atas lerengnya pohon kayu putih tumbuh secara liar memenuhi bukit tersebut.

Jejak para tapol tersebut masih dapat dijumpai di jalur teluk ini, mereka menghuni daerah disebut unit. Sekarang, unit-unit tersebut tergabung dalam satu kecamatan bernama Kecamatan Waeapu dan terbagi dalam beberapa desa. Yang menarik, nama-nama desa tersebut masih berhubungan dengan sejarah tempat itu. Sebut saja Desa Mako, Ibukota Kecamatan Waeapu, yang merupakan singkatan dari Markas Komando, disebabkan tempat ini pernah menjadi pusat komando pemerintah yang mengawasi para tapol di Pulau Buru.

Meski banyak tapol yang telah kembali ke tempat asalnya, beberapa di antaranya memilih bertahan dan bergabung dengan transmigran. Salah seorang yang masih bertahan ialah Pak Hassanuddin yang tinggal di Desa Savana Jaya. Bersama tapol lain, beliau membuka lahan pertanian di daerah yang dulu masih berupa padang savana ini. Merasa mubazir jika lahan pertanian tersebut ditinggalkan begitu saja saat pemulangan tapol, maka lokasi ini dijadikan tujuan program transmigrasi. Bersama transmigran, beliau melanjutkan lahan pertanian itu. Kini, savana yang semula gersang berubah menjadi sawah produktif dengan sistem irigasi untuk mengairi sawah sepanjang tahun. Kawasan ini pun didapuk sebagai sentra pertanian Desa Savana Jaya yang menjadi desa pertama di Pulau Buru.

Sawah

Lahan pertanian yang subur di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapu. Saluran irigasi mengairi sawah ini sepanjang tahun sehingga tidak lagi mengandalkan musim hujan. Tampak bukit intrusi dan pegunungan di kejauhan yang merupakan lokasi penambangan emas di Pulau Buru.

Variasi Bentang Alam Jalur Pantai

Pemandangan yang lebih bervariasi ditemui di Jalur kedua yang menyusuri pantai di utara pulau. Mulai dari bukit savana hingga hutan yang masih asri. Perkebunan kelapa dan pemukiman penduduk asli lengkap dengan kesehariannya. Kawasan Wisata Pantai Jikumerasa dan kawasan karst lengkap dengan gua dan tebing curamnya. Sungai-sungai berair jernih yang mengalir di antar hamparan endapan aluvial berukuran bongkah. Namun, yang paling menarik ialah adanya perubahan geomorfologi dan fenomena lain yang mengikuti perubahan itu.

Kawasan karst berumur Kuarter yang terdiri dari batugamping terumbu memiliki lereng yang terjal, sangat berbeda dengan perbukitan tandus yang berlereng relatif lebih landai dan bergelombang. Goa beserta ornamennya berada di bagian bawah lereng, tersembunyi di antara pepohonan di tepi jalan.

Gua

Salah satu goa dengan stalaktitnya di kawasan karst yang dapat diamati dari tepi jalan.

Nyuci

aktifitas warga dalam memanfaatkan sungai yang masih jernih.

Jikum

Panorama kawasan wisata pantai Desa Jikumerasa. Diunduh dari http://www.triptrus.com

Dari kawasan kars, morfologinya berubah menjadi landai tiap kali memasuki pemukiman penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Jika melintas saat jam sekolah, banyak dijumpai anak sekolah berkerumun di tepi jalan untuk meminta tumpangan menuju desa asal mereka. Di pemukiman ini, sungai masih menjadi bagian dari aktifitas sehari-hari mereka. Mandi dan mencuci masih dilakukan di aliran sungai yang berair jernih.

Salah satu pemukiman yang paling menarik ialah Desa Jikumerasa yang ditetapkan sebagai kawasan wisata pantai. Di sini terdapat danau berair payau yang berada tidak jauh dari pantai dan terhubung dengan pantai melalui sungai berair jernih dengan lebar sekitar 15 meter. Saat laut surut, air danau akan mengalir ke pantai melalui sungai tersebut. Sebaliknya, air laut mengalir masuk ke danau saat laut pasang. Suasana Danau Jikumerasa masih asri dengan hutan mengelilingi tepiannya. Disediakan sampan lengkap dengan dayungnya bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana danau lalu mendayung menyusuri sungai menuju pantai atau sebaliknya. Pantainya yang masih jernih dan tenang relatif aman untuk snorkeling ataupun sekedar bermain air.

Interaksi antara perbukitan dan dataran tersebut, turut memberi bentukan pada aliran sungai di sepanjang jalur pantai ini. Endapan aluvial menghampar luas sebagai dampak terjadinya perubahan kecepatan aliran saat sungai memasuki dataran setelah mengalir deras di perbukitan. Hamparan endapan aluvial tersebar merata dalam bentuk yang menyerupai kipas jika dilihat dari udara. Bentuk ini lazim disebut sebagai kipas aluvial.

Kipas

Hamparan Kipas Aluvial Wae Duna dari kejauhan. Di ujungnya berdiri Desa Bara yang berada tepat di tepi pantai.

Kipas aluvial terluas ialah di aliran Sungai (Wae) Duna yang langsung bermuara ke laut. Material aluvialnya berukuran bongkah yang terdiri dari bermacam batuan termasuk yang memiliki kualitas sebagai batumulia. Jalur pantai ini melintas tepat di mulut kipas aluvial Wae Duna, sementara di kaki kipas aluvialnya berdiri Desa Bara yang berada di tepi pantai. Sebagai kipas aluvial yang dinamis, bukan tak mungkin, suatu saat desa tersebut akan semakin jauh dari pantai akibat pengendapan dari Wae Duna setiap tahunnya. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui besaran laju pengendapan dari sungai yang berhulu di Gunung Kapalamada ini.

Mitigasi Sejak Dini

Kedua jalur jalan tersebut menunjukkan perkembangan dan pembangunan yang tengah terjadi di Pulau Buru khususnya Kabupaten Buru. Penemuan sumber daya mineral yang ekonomis turut ambil bagian dalam perubahan wajah Pulau Buru ke depannya. Namun, pembangunan tersebut jangan sampai mengabaikan potensi bencana yang mungkin terjadi. Sedari awal, terapkan pembangunan yang mencakup mitigasi bencana.

Pelebaran jalan lama yang tengah dilakukan, sebaiknya memperhatikan kondisi geologi pada jalur jalan tersebut. Kemudian sesuaikan dengan teknik pemotongan lereng agar tidak menimbulkan gerakan tanah di masa depan. Lereng yang sudah runtuh dapat menjadi indikasi adanya ketidaksesuaian antara pemotongan lereng dengan kondisi fisik batuannya.

Pada jalur pantai, pembangunan jalannya sudah mulai memperhatikan potensi bencana di sepanjang jalan tersebut. Jembatan dibangun ulang dengan struktur yang kokoh dengan bentangan yang lebih lebar. Sekilas perbaikan ini seperti tak perlu karena jembatan terlampau panjang dibanding aliran sungainya. Namun, endapan sungainya menunjukkan bahwa sungai tersebut akan meluap berkali lipat saat musim penghujan. Dengan bentangan jembatan sekarang, jalan ini tetap bisa dilalui kendati sungainya meluap.

Jembatan

Jembatan Wae Duna yang membentang di atas mulut kipas aluvial Wae Duna. Bentangan jembatan ini jauh melampaui lebar sungai sehingga relatif aman jika Wae Duna meluap.

 

Dimuat dalam Geomagz Vol. 5 No. 4 Edisi Desember 2015

2015 in review

Posted: February 24, 2016 in Geologi Dasar

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2015 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 23,000 times in 2015. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 9 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Situs Gunung Padang-500x500Atlantis, benua yang hilang konon akhirnya ditemukan. Begitulah kira-kira inti dari sebuah buku yang menjadi permulaan berhembusnya isu tentang adanya peradaban maju di Nusantara ribuan tahun yang lalu. Peradaban yang sisa-sisanya banyak bertebaran di berbagai tempat, sehingga bentuk-bentuk bukit yang menyerupai limas sempurna mulai didakwa sebagai peninggalan peradaban tersebut yang kini terkubur. Salah satu dari bukit yang menjadi perhatian khusus ialah Gunung Padang.

Yang membuat Gunung Padang mendapat perhatian khusus ialah keberadaan situs purbakala berupa tumpukan batu yang tersusun di puncaknya. Pola yang ditunjukkan tumpukan tersebut langsung menunjukkan adanya campur tangan manusia di dalam pengerjaannya. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1998 menetapkan Gunung Padang sebagai situs kebudayaan dan kini menjadi Cagar Budaya yang dilindungi negara.

Kendati sudah dibuka sebagai objek wisata sejak tahun 1990-an dan kemudian ditetapkan sebagai situs kebudayaan, Gunung Padang baru mulai ramai dikunjungi sekitar tahun 2011. Peningkatan jumlah pengunjung tersebut tidak lepas dari maraknya isu tentang piramida beserta bermacam peninggalan budaya maju yang konon terdapat di gunung ini. Jika dulu perhatian utama wisatawan tertuju pada pemandangan dan suasananya yang asri, kini beralih pada susunan batu-batu yang menghiasi puncaknya.

Penggunaan batu-batu besar untuk berbagai keperluan terutama sarana pemujaan merupakan ciri dari kebudayaan megalitik. Susunan batu-batu pada Gunung Padang dipercaya sebagai peninggalan kebudayaan megalitik berupa punden berundak. Fungsi punden ini sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dipercaya masih hidup dan bersemayam di langit. Sehingga puncak-puncak gunung yang tinggi dipercaya menjadi tempat singgah roh tersebut saat berada di dunia. Kepercayaan inilah yang membuat masyarakat masa lalu mau bersusah payah menyusun batu besar di ketinggian.

Namun, sebuah tim riset menduga bahwa Gunung Padang bukan dibangun di bagian puncaknya saja, melainkan keseluruhan bukit dari kaki hingga puncaknya dibangun oleh manusia. Morfologi bukitnya yang menyerupai bentuk limas akhirnya menjadi dasar munculnya istilah piramida Gunung Padang. Piramida yang sudah identik dengan Mesir membuat penasaran banyak orang untuk melihatnya langsung.

Salah seorang ahli arkeologi yang terlibat dalam tim riset tersebut ialah Dr. Ali Akbar. Ahli arkeologi dari Universitas Indonesia itu menjabarkan hasil penelitiannya dalam buku yang berjudul ”Situs Gunung Padang, Misteri Dan Arkeologi” yang terbit pada tahun 2013. Buku ini memuat data lapangan yang diperoleh selama penelitian beserta analisis dan hasil interpretasinya.

Data lapangan yang diperoleh berupa pengelompokkan teknik penyusunan antar batu, profil teras-teras Gunung Padang yang berjumlah 5 teras, profil pemboran, serta foto-foto selama proses ekskavasi dan pengukuran geofisika. Beberapa temuan artefak seperti pecahan tembikar juga ditemukan di sekitar Gunung Padang. Analisis dari berbagai data lapangan tersebut menyimpulkan bahwa Gunung Padang bukan sekedar punden berundak biasa, tetapi berupa piramida tangga. Artinya, Gunung Padang dari kaki hingga puncak merupakan hasil karya manusia, bukan bukit alami.

Analisis yang tentu saja mengundang perdebatan di antara para ilmuwan. Selama ini, peninggalan megalitik dianggap berasal dari kebudayaan yang masih sederhana sedangkan piramida berasal dari kebudayaan yang relatif sudah maju. Hasil penelitian sejarah nusantara menyimpulkan bahwa sebelum masa kerajaan, nusantara ini belum memiliki peradaban yang lebih maju. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa terdapat kemungkinan pernah ada peradaban tinggi karya manusia di masa lalu, namun kemudia musnah dan terpendam lalu ditemukan kembali oleh manusia di masa berikutnya yang belum tentu memiliki peradaban yang lebih tinggi.

Terlepas dari kontroversi tentang bentuk Gunung Padang, para ahli sepakat mengenai fungsi spiritual terhadap gunung yang berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur ini. Sehingga wajar jika sisa-sisa aktifitas penduduk yang memanfaatkan Gunung Padang tidak banyak ditemukan di sekitar gunung ini. Jadi, fosil manusia kemungkinan tidak akan ditemukan di sekitar gunung ini.

Namun, lokasinya yang berada di antara bukit-bukit memberi dugaan bahwa sumber batunya tidak jauh dari lokasi situs. Beberapa tempat diduga menjadi lokasi tambang batu yang digunakan untuk menyusun Gunung Padang. Yang kemudian menjadi pertanyaan ialah, di mana lokasi pemukiman masyarakat maju yang membangun Gunung Padang? Serta bagaimana batu-batu yang digunakan untuk menyusunnya diangkut dari tempatnya berasal? Kedua pertanyaan tersebut hingga buku ini terbit belum dapat dijawab secara pasti walaupun penulis menyebutkan beberapa dugaan untuk kedua pertanyaan tersebut.

Selain itu, misteri tentang kapan Gunung Padang dibangun pun masih perlu penelitian lebih lanjut. Hasil pengukuran yang sudah dilakukan menyebutkan bahwa usia Gunung Padang mencapai 10.000 sampai 20.000 Sebelum Masehi (SM). Umur yang dirasa terlalu tua mengingat sejarah peradaban manusia modern yang selama ini ditemukan tidak sampai setua itu. Sebagai perbandingan, Nabi Adam as diperkirakan hidup sekitar 3760-2830 SM.

2014 in review

Posted: June 11, 2015 in Sesi Curcol
Tags:

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2014 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 25,000 times in 2014. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 9 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

NONTON FILM HOROR

Posted: June 11, 2015 in Pengalaman, Sesi Curcol
Tags: , ,

Hari Kamis ini tingkat kebosanan memuncak, lagi. Padahal baru hari Senin kemarin nonton Naruto di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Ya memang sih, nasib calon pegawai negeri yang udah 2 bulan digantung macam gw ini gampang banget jenuh kalo diam di kosan doang. Walau sudah diterima sebagai pegawai negeri, tapi birokrasi yang mengharuskan nunggu NIP keluar dulu baru bisa mulai kerja bikin status gw – dan mungkin yang lainnya juga – jadi gantung. Pengangguran bukan, pegawai bukan.

Biar ga jenuh, ya hari ini gw niat nonton film yang seru-seru deh, jangan yang drama romantis, nanti yang ada malah tambah bosan. Demi efisiensi anggaran, pantang bagi gw untuk nonton film yang pernah gw tonton di bioskop. Makanya film keren macam Fast and Furious 7 kagak masuk daftar karena udah nonton. Pengennya sih nonton The Avenger Age of Ultron, tapi baru trailer filmnya yang keluar, full movie nya mah belum.

Di tengah kebimbangan macam memutuskan kenaikan harga BBM, gw pilih film bergenre horror. Sampai situ dikirain ga bakal bimbang, ternyata kebimbangan tersebut berlanjut ke season 2. Kali ini demi memilih antara film Wewe atau Tuyul. Dari poster film dan sinopsis, gw menduga 2 film ini ga ada bedanya sama film horror Indonesia yang sudah-sudah, yaitu sekedar memunculkan hantu di setiap adegan, music-musik yang mengganggu alih-alih bikin seram atau kaget, terus diakhiri tanpa solusi berarti.

Well, daripada kagak jadi nonton yang akhirnya bosan bermetamorfosis menjadi bête, gw tetap harus memilih pilihan yang sulit ini. Dari segi pemeran, di film Wewe ada Nabila JKT48 yang imut itu, sedangkan di film Tuyul ada Dinda Kanya Dewi sama Kak Citra Prima. Gw panggil Kak karena ya memang usianya di atas gw. Sama kuat nih dari segi pemeran. Dari segi hantu, film Wewe nampak lebih seram hantunya, daripadaTuyul, itu kan cuma menakutkan bagi yang punya duit. Dari segi sinopsis, yang Tuyul nampak lebih punya cerita nih. Lagi-lagi sama kuat, bimbang lagi deh gw. Terakhir deh, liat trailernya dulu. Ternyata memang ini yang menentukan, dari trailer nampak bahwa film Tuyul sedikit lebih menarik.

Setelah keputusan gw menunjuk film Tuyul lolos uji kelayakan dari DPR, gw pun pergi ke loket setelah sebelumnya mondar-mandir ga jelas dari poster ke poster di dalam bioskop. Entah apa yang ada di pikiran satpam yang kayaknya memperhatikan gelagat pengunjung yang nampak kere ini. Satpam itu ga tau aja, tampilan memang seperti orang kere, tapi kantong gw isinya 50 ribuan selembar bro, tajir ga tuh?

Lanjut pas mau pesan tiket, lagi-lagi gw bimbang mikirin kalimat pemesanan yang cocok. Tadinya mau bilang aja, “Mbak, Tuyulya”. Tapi gw mikir, nanti si mbaknya tersinggung lagi gw bilangin Tuyul. Selama ngantri, gw terus mikirin kalimat yang baik supaya tidak salah kaprah, tau sendiri cewek kan sensitif. Belum nemu yang cocok, ternyata gw udah sampe aja di depan loket. Tapi mbaknya ternyata perhatian, tau aja gw lagi bingung, dia langsung nanya duluan, “film apa mas?”. Pertanyaan itu membuyarkan kebimbangan gw, dengan tenangnya gw bilang “Tuyul”.

Seperti biasa, setelah itu transaksi dilanjutkan dengan memilih jatah kursi sesuai kuota tiket yang dibeli. Ternyata, kursi yang sudah ditempati saat itu tidak sampai 10 orang. Fakta yang tidak mengejutkan ini menyiratkan 3 hal, pertama mungkin karena gw beli terlalu awal, masih 1 jam sebelum film diputar. Kedua, mungkin karena gw nonton di hari kerja dan jam kerja. Ketiga, filmnya kurang diminati. Yang terakhir ini yang gw harap cuma suudzan gw aja, soalnya pada posternya tuh ditulis part 1. Bayangin aja, kalo part 1 aja kurang diminati, rasanya sulit untuk mengharapkan part 2 nya diminati juga. Malah bisa-bisa ga jadi dilanjut nih, miris. Apa memang film Indonesia sudah demikian kurang diminati oleh orang Indonesia?

Mumpung sepi, gw milih tempat yang agak jauh dari kerumunan kursi-kursi yang sudah dipesan. Ada yang menarik perhatian gw, dari kursi yang dipesan, rata-rata adalah 2 kursi berdekatan dan tersebar di setiap pojok ruangan bagian atas. Pola sebaran seperti ini dalam dunia statistik tidak bisa disebut sebagai pola acak, tetapi memang ada persamaan deret matematiknya. Memecahkan persamaan itu sayangnya bukan keahlian gw yang nilai matematikanya paling rendah di antara mata pelajaran lain yang di-UN-kan.

Gw orangnya anti-mainstream, jadi gw pilih kursi yang menjauh dari kursi-kursi yang sudah diisi itu. Biar dapet nuansa seram juga sih, di tengah kegelapan bioskop gw sendirian, tak ada orang di sekitar, hanya ada suara-suara asing dari filmnya. Membayangkannya aja sudah seram tuh kayanya. Film yang diperkirakan ga bakal seram setidaknya diharapkan bisa bertambah 1 tingkat kadar keseramannya.

Sejam berlalu, setelah nyampah di sana-sini, shalat dhuhur supaya ada harapan dosa gw ada yang dimaafkan, masuklah gw ke bioskop studio 6. Ada sedikit kabar baik begitu gw masuk, ternyata penontonnya sudah nambah, yah lebihlah 10 orang mah. Di sebelah gw juga ternyata ada yang nempatin 1 orang, cowok, tidak sesuai harapan memang. Salah 2 orang yang duduk di pojok ternyata lelaki dan perempuan. Berusaha berpikir positif, gw anggap aja mereka itu kakak beradik, entah mana yang kakak mana yang adik, tidak ada data yang cukup untuk menyimpulkannya.

Tak lama kemudian lampu mulai dipadamkan, padahal gw baru aja nyuruh hape gw diam biar ga berisik saat film diputar. Suasana mulai kelam, cowok di sebelah gw mulai fokus nonton, termasuk gw walaupun mata masih nengok ke sana ke mari, tapi gw fokus nonton trailer film-film yang masih kamingsun. Iklan berbau kampanye ajakan nonton film Indonesia menutup rangkaian trailer-trailer tersebut.

Film pun selesai, gw dan penonton lain beranjak keluar bioskop. Ya, gw ga bahas filmnya di sini, karena gw menghargai mereka yang anti-spoiler. Jadi, sampai sini dulu gw bagi-bagi cerita nonton film horornya. Wassalamu’alaikum

DSC_0874Judul                   : Mata Moses

Penulis               : Wiwid Prasetyo a.k.a Prasmoedya Tohari

Penerbit            : Safirah

Distributor       : Transmedia

Tahun                  : 2012

Tebal                    : 471 Halaman

Mesir, sebuah negeri dengan sejarah peradaban panjang yang tergambar nyata dalam sisa-sisa kebudayaannya yang megah. Namun sebenarnya, kemegahan itu hanya milik para penguasa dan orang-orang terdekatnya saja. Peninggalan kebudayaan itu sendiri menjadi saksi bisu perbudakan dan kerja paksa demi memenuhi ambisi penguasa Mesir saat itu, yang dikenal dengan gelar Fir’aun.

Ramses merupakan salah satu Fir’aun yang paling gemilang kekuasaan dan kekayaannya. Dengan masa pemerintahan yang mencapai setengah abad, nyaris tidak ada aral rintangan berarti yang ia temui semasa kepemimpinannya. Hal itulah yang kemudian membuatnya lupa diri, puncaknya ialah saat ia menasbihkan dirinya sebagai Tuhan bagi rakyat Mesir. Oleh karena dirinya adalah Tuhan, maka semua keputusannya mutlak harus ditaati sedzalim apapun keputusannya itu. Siapa yang mengkritik atau keberatan akan dianggap sebagai pemberontak kerajaan dan dikenai hukuman berat bahkan tidak jarang berujung pada hukuman mati.

Namun, Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah lalai. Diawali dari sebuah mimpi, Ramses mendapat ramalan bahwa tahtanya akan direnggut dari lelaki yang bukan berasal dari keturunannya. Rasa takut membuatnya mengambil keputusan yang paling zhalim, yaitu membunuh semua anak laki-laki yang baru lahir dari kalangan Suku Mesir maupun Bani Israil.

Dalam kondisi mencekam akibat kebijakan yang tidak bijak tersebut, seorang bayi laki-laki dari Bani Israil justru diangkat sebagai anak asuh oleh permaisuri Ramses. Bayi yang ditemukan dalam peti yang hanyut di Sungai Nil tersebut merupakan benih dari pasangan kaum Bani Israil yang beriman. Mereka memegang teguh agama Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Ismail, Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf yang hanya menyembah satu Tuhan, yaitu Allah swt dan tidak menyekutukannya dengan apapun, termasuk Ramses dan Tuhan lain seperti Amon maupun Ra. Kedua orangtua bayi tersebut ialah Amram dan Yokhebed. Allah ta’ala telah mengilhamkan kepada ibu sang bayi untuk menghanyutkan anaknya ke Sungai Nil agar tidak menjadi korban Ramses berikutnya.

Di bawah pengasuhan istana Fir’aun, Ramses bukannya tidak menyadari adanya anak laki-laki yang tidak jelas asal usulnya di dalam istananya. Ia membiarkannya karena para perempuan terutama kedua permaisurinya sangat menyayanginya. Terlebih, saat itu Ramses belum memiliki keturunan sehingga ada harapan bahwa Moses bisa menjadi pancingan kehamilan permaisurinya. Anggapan Ramses tersebut membuat Moses tidak pernah dilibatkan dalam urusan kerajaan maupun keagamaan. Akibatnya, Moses tidak terpengaruh sama sekali dengan perbuatan syirik Ramses dan bangsa Mesir. Ditambah penjelasan yang diperoleh Moses dari salah satu permaisurinya yang diam-diam beriman kepada Allah swt.

Ketika beranjak dewasa, Moses dipekerjakan ayah angkatnya sebagai pengawas para budak. Saat itulah ia menyadari betapa dzalim pemerintahan Ramses, namun kedudukannya yang hanya anak angkat membatasi pengaruhnya kala memperingatkan Ramses dan pengikutnya. Moses pun memilih pergi dan kembali ke ibu kandungnya lalu membela kaumnya yang ditindas oleh Ramses. Ironis, tidak semua kaumnya menerima ajakan Moses untuk kembali ke agama tauhid dan memilih tetap mengikuti ajaran Ramses walaupun sudah ditindas sedemikian rupa. Bahkan, saat Moses telah diangkat menjadi Rasul pun sikap kaumnya tidak banyak berubah, hanya beberapa pemuda dan kerabat dekatnya saja yang mempercayai dan mengikuti seruan Moses.

Moses atau Musa as merupakan nabi dan rasul Allah yang diutus kepada Bani Israil dan Fir’aun. Kisah perjuangannya dalam menegakkan agama tauhid di bumi Mesir dituliskan dalam novel berjudul Mata Moses yang diceritakan dengan nuansa fiksi. Sumber ceritanya sendiri berasal dari Alquran dan kitab-kitab lain serta tafsiran dari para ulama yang kemudian diceritakan kembali dengan bahasa penulis. Referensi tersebut dicantumkan pada catatan kaki novel ini sehingga pembaca bisa mengecek keabsahan referensi tersebut.

Cerita di novel ini diawali dari peradaban Mesir jauh sebelum Ramses berkuasa yang menjadi latar belakang kebencian Ramses kepada kaum Bani Israil. Memasuki inti cerita ditandai dari penasbihan Ramses sebagai Tuhan bagi rakyat Mesir hingga klimaksnya terjadi pada saat Moses menunjukkan buktinya sebagai utusan Allah berupa mukjizat tongkat yang berubah menjadi ular dan terbelahnya Laut Merah. Perpindahan kaum Bani Israil menuju tanah Palestina menjadi penutup cerita yang sedikit berkaitan dengan isu konflik Israel-Palestina selama ini.

Dibanding sirah nabawiyyah murni, kisah dalam kemasan fiksi ini memang lebih mudah ditangkap dan dicerna dengan segmen pembaca yang lebih luas. Kronologis cerita dari Nabi Musa as dinarasikan secara urutan waktu namun dialog yang ada di dalamnya hampir tidak ada perubahan dari sumber aslinya. Ini merupakan kelebihan dari novel sejarah terutama sejarah para nabi dan rasul yang membuat kisahnya mudah dipahami tanpa mengubah sejarah yang ada. Novel yang serupa pun mempunyai pola yang sama, misalnya novel berjudul Ayyub Dan Ulat-Ulat Yang Menggerogotinya karya Muhammad Makhdlori.

Seperti halnya buku dengan genre sama yang berjudul Muhammad karya Martin Lings, ada beberapa dialog yang tidak diangkat dalam cerita. Dalam novel ini, dialog tersebut ialah kala Fir’aun meminta tangan kanannya, Haman, untuk membuat bangunan tinggi agar dapat melihat Tuhannya Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Selain itu, ada kerancuan juga pada alur novelnya yang pada bagian pembuka seperti menyiratkan alur flash back dari sebuah penemuan. Ternyata bagian kisah bagian pembuka tersebut benar-benar hanya pembuka cerita tanpa ada kaitannya dengan kisah dalam novelnya sendiri. Namun, hal itu tidak mengurangi keteguhan dan kesabaran Nabi Musa as dan Nabi Harun as sebagai utusan Allah swt untuk mengajak umatnya menuju kebenaran yang sesungguhnya.

Iqbal E. Putra

Judul: Gerbang TrinilDSC_0787-1
Penulis: Riawani Elyta & Syila Fatar
Penerbit: Moka Media
Distributor: Kawah Media
Tahun: 2014
Tebal: 293 Halaman
ISBN: 979-795-874-4

Areta adalah gadis SMA biasa yang terobsesi terhadap paleoantropologi. Percakapannya dengan anak salah satu penemu manusia purba membawanya berkunjung ke Trinil, tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois. Namun, kunjungannya ke Trinil berubah menjadi petualangan besar yang kelak berpengaruh terhadap cara pandang dan gaya hidupnya selama ini. Siapa mengira jika manusia purba Pithecanthropus erectus yang dinyatakan telah punah ternyata masih hidup dan merencanakan sesuatu yang buruk demi merebut kembali bumi dari tangan manusia modern (Homo sapiens). Tanpa seorang teman pun yang mendukungnya, Areta pun berjuang menggagalkan niat mereka hingga para manusia purba itu kembali punah dari planet bumi.

Petualangan Areta dalam menguak kebenaran dibalik Pithecanthropus erectus menjadi inti cerita dari novel yang berjudul Gerbang Trinil ini. Sesuai dengan judulnya, latar cerita dalam novel ini memang terfokus di Trinil dan sebagian Surabaya. Dengan genre fiksi ilmiah, Riawani Elyta dan Syila Fatar mengangkat tema arkeologi khususnya fakta tentang manusia purba yang ditemukan di bantaran Sungai Bengawan Solo yang dipajang di Museum Trinil. Penemuan tersebut dibalut dengan jalinan kisah fiksi murni tanpa menyentuh ranah teori evolusi sedikitpun.

Dari judul dan temanya, sekilas jalan ceritanya akan mirip seperti film Tomb Rider ala Angelina Jolie. Apalagi tokoh utama dalam novel ini pun seorang perempuan dari keluarga yang berada seperti halnya Lara Croft. Bedanya, tidak ada perburuan harta karun dalam novel ini. Namun, alur ceritanya ternyata lebih sederhana dan sangat terfokus pada tokoh utama walau penulis bercerita dengan posisi sebagai orang ketiga. Tokoh pendamping yang diceritakan sejak awal cerita benar-benar hanya sebagai pendamping tanpa kontribusi berarti dalam petualangan Areta yang sesungguhnya. Manusia purba yang diceritakan pun terbatas pada daerah Trinil, walaupun tokoh yang terlibat dalam petualangan Areta berasal dari berbagai tempat.

Selain itu, penulis nampak terburu-buru dalam berpindah latar tempat. Umpan-umpan terkait misteri dari inti cerita yang dijalin sejak awal cerita menjadi tanpa arti. Sungguh disayangkan, benang merah antar tokoh yang sudah terjalin apik tiba-tiba terputus di tengah dan langsung lompat menuju konklusi di akhir cerita. Misalnya saja umpan akan adanya konspirasi pada penemuan manusia purba selama ini. Konspirasi ini dibiarkan menggantung begitu saja hingga akhir cerita dan tidak disinggung kembali walaupun menjelang klimaks umpan tersebut sempat muncul kembali.

Terlepas dari itu, novel ini cukup menarik untuk dibaca oleh segala umur. Bagi yang merasa awam terhadap dunia arkeologi maupun paleoantropologi tidak perlu khawatir. Sebab tidak ada istilah khusus dalam novel ini kecuali nama dari manusia purba itu sendiri. Bahasa Inggris dalam novel ini pun tidak sulit bahkan untuk diartikan per kata. Manusia purba dalam novel ini pun fasih berbahasa Indonesia kok. Namun, bagi pembaca yang senang berpikir dan menebak kelanjutan ceritanya, maka novel ini bukan bacaan yang tepat untuk Anda.

Daerah vulkanik memang menyajikan pemandangan yang tiada tara. Dibalik keganasannya saat erupsi, gunungapi memberikan berkah yang membuat orang tetap ingin menggerayangi tubuhnya yang berbentuk kerucut itu. Lahan yang subur merupakan keniscayaan untuk lereng gunung yang masih aktif. Hingga ada pepatah dalam sebuah lagu “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Berkah lain yang membuat orang tidak jera PDKT dengan gunungapi ialah sisa-sisa produk vulkanik yang membatu.

Suatu jejak aliran lava menebar pesonanya dengan bentukan janggal dan guanya yang memanjang. Bentukan janggal ini bahkan diyakini banyak orang sebagai karya artifisial, bukan dari alam. Kekar kolom poligonal, tekstur lava pahoehoe yang seperti selendang, merupakan satu di antara tekstur yang seakan terlalu rapi sebagai bentukan alam. Di ujung alirannya, lava membatu yang sejatinya keras ini akan merekah sebagai responnya terhadap gaya gravitasi dan kelembaman aliran. Bidang lemah ini akan mudah tererosi dan menyisakan tebing terjal di sepanjang ujung aliran nan panas membara ini. Dan air yang mengerosi itupun bertransformasi menjadi air terjun atau curug.
Citambur Genesis

Napak Tilas Aliran Lava
Salah satu curug hasil transformasi tersebut ialah Curug Citambur. Bunyi jatuhnya air yang seperti suara tambur, bur…bur…berdebur-debur membuat warga setempat menamainya demikian. Curug yang terletak di Desa Karangjaya, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Cianjur ini tampak terpencil kendati tingginya diduga mencapai 130 meter. Deburan airnya seolah menjadi teriakan jiwanya agar ia dikenal dan dijamah manusia.

Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai curug ini tidak mudah. Berlokasi dekat dengan perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, maka ada 2 jalur bisa ditempuh. Dari arah Cianjur ambil jalan menuju Sindangbarang lalu belok di pertigaan yang mengarah ke Pagelaran. Jalannya relatif baik meski agak lubang di beberapa ruas. Kondisi berbeda ditemui di jalur kedua dari arah Bandung. Jalan mulus dari Bandung hingga Perkebunan Teh Rancabali dan Sinumbra sayangnya tidak berlanjut hingga perbatasan dengan Kabupaten Cianjur di jembatan Cisabuk. Jalan penghubung Ciwidey di Bandung dengan Pagelaran di Cianjur ini berbatu dan belum beraspal sepanjang lk 5 km di ruas Desa Cipelah. Padahal jalur perekonomian ini sangat penting untuk mengangkut hasil bumi di antara kedua lokasi.

Jalur Rancabali ini pun merupakan jalur terbaik jika ingin menuju ke Curug Citambur. Hamparan kebun teh yang hijau, udara yang sejuk, dan perbukitan yang masih menghijau menjadi bonus sebagai penyegar mata sebelum mencapai curug yang lebih terpencil lagi. Bongkah bebatuan yang tersusun dari andesit tampak mencuat di antara kebun teh yang berkontur. Bebatuan ini terbentuk dari lava gunungapi yang telah membeku. Andesit menunjukkan komposisi lava yang asam sehingga membentuk struktur lava bongkah (blocky lava).

P1070985

Perkebunan teh Rancabali

Setidaknya terdapat dua gunungapi di sekitar kebun teh Rancabali dan Sinumbra ini, yaitu Gunung Patuha dan Gunung Kendeng. Kedua gunungapi tipe B ini saat masih aktif mengalirkan lavanya ke lereng sekitarnya. Di beberapa tempat bahkan saling bertemu dan membentuk lembah yang menjadi jalur jalan Ciwidey-Pagelaran ini. Singkapan lava bongkah ini akan ditemui di sepanjang jalan dari Rancabali hingga mendekati Curug Citambur. Menempuh jalur ini ibarat tengah menapak tilas aliran lava hingga ke ujung alirannya.

Kesegaran Ujung Aliran Lava
Lava merupakan cairan pijar bersuhu tinggi yang keluar dari perut bumi. Suatu aliran lava bisa mencapai jarak puluhan kilometer tergantung derajat keasamannya. Semakin asam lava tersebut, semakin cepat ia membeku sehingga alirannya tidak jauh dari tempatnya keluar. Lava basa bisa mengalir hingga puluhan kilometer, membentuk apa yang disebut sebagai sungai lava seperti di Gunung Killuea, Hawaii.

Di ujung aliran lava inilah Curug Citambur meluncur turun setinggi lk 130 meter. Bagian atas tebing tempat curug ini berasal yang masih hijau membuat airnya terasa jernih dan menyegarkan. Hulu sungai berasal dari kaki Gunung Kendeng yang menurut peta masih belum ada pemukiman. Jatuh dari ketinggian seperti ini, air akan mengalami proses airasi, yaitu bercampurnya oksigen bebas di udara dengan butiran air selama air tersebut jatuh. Inilah mengapa air yang jatuh di tebing seperti airterjun terasa begitu menyegarkan.

P1080039

Curug Citambur

Curug ini sebenarnya memiliki dua undakan, yang pertama merupakan yang tertinggi. Di hilirnya disambung oleh undakan kedua yang lebih lebar namun tidak seberapa tinggi dibanding undakan pertama. Bebatuan pada undakan pertama tersusun dari singkapan lava, kemungkinan berjenis andesit. Di bagian dasarnya berupa breksi vulkanik yang menjadi pijakan bagi pengunjung yang ingin mendekati curug ini.

Walau sungainya mengalir pada aliran lava, namun pengunjung yang mendekati curug ini dijamin basah kuyup. Percikan airnya yang pecah selama jatuh dari tebing membuat suasana di bawah curug ini dilanda hujan lokal. Lindungi dahulu peralatan elektronik yang alergi terhadap air. Hati-hati saat melangkah karena jalan yang selalu basah, terlebih belum adanya pagar pengaman dan sarana untuk lalu lalang pengunjung.

Namun, berkunjung ke curug ini jika tidak basah akan terasa garing, laksana makan bakso tanpa kuah. Sensasi kesegarannya dijamin lebih terasa walaupun hanya terguyur percikan airnya, karena memang terdapat larangan berenang di sekitar curug. Terdapat sarana MCK yang sudah permanen walau tanpa pintu, jadi tidak perlu khawatirkan tempat membilas dan berganti pakaian. Airnya berasal dari bagian dasar curug yang dialirkan melalui saluran irigasi yang melewati bagian depan fasilitas MCK ini. Jadi masih jernih dan higienis bahkan untuk diminum sekalipun.

Tebing Naik Air Turun
Curug Citambur jatuh pada tebing yang membentang di sepanjang kaki Gunung Kendeng bagian barat-baratdaya. Belum diketahui dengan pasti bagaimana tebing di sini bisa menjulang begitu tinggi. Interpretasi sementara berdasarkan batuan pembentuk tebing tersebut ialah bahwa tebing ini berupa ujung dari aliran lava yang tererosi. Proses pengerosiannya seperti yang telah disebutkan di awal tulisan. Di sekitar kaki tebing memang terhampar bongkah-bongkah batu, umumnya breksi, yang dulunya tentu merupakan bagian dari tebing ini. Bentuk tebing tempat curug ini terjun pun memperlihatkan sebuah lekukan yang terbentuk dari hasil proses erosi air terjun ini.

Tetapi, ujung aliran lava walaupun tererosi biasanya tidak sampai membentuk tebing setinggi lebih dari 50 meter. Tentu ada pengaruh dari proses tektonik yang mengangkat tebing tersebut hingga menjulang begitu tinggi. Adanya sesar naik atau sesar normal hingga sebuah graben merupakan suatu keniscayaan yang paling memungkinkan. Terlebih dari bentuk tebingnya yang begitu tegak dan lurus memanjang, seperti yang terdapat pada lembah Ngarai Sianok di Sumatera Utara atau Gunung Batu di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Di sepanjang tebing ini memang terdapat beberapa air terjun selain Curug Citambur. Namun yang sudah dikelola menjadi objek wisata baru Curug Citambur ini. Tempat di mana tebing naik ini air tentu banyak yang turun menuju lembah di bawahnya yang lebih rendah. Tanah vulkanik yang terkenal akan kesuburannya akan ikut terbawa air dan terendapkan di lembah itu, mengundang warga untuk bermukim dan membentuk komunitas yang disebut kampung. Lambat laun kampung yang dikelilingi tebing curam itupun semakin ramai, berkembang menjadi sebuah desa. Dari Curug Citambur inilah desa di antara tebing tersebut bisa dilihat jelas, lengkap dengan curug lain yang mengiringi deburan air Curug Citambur.

Dulu, mungkin orang mengenal Belitung karena kekayaan timahnya. Tapi semua mulai berubah seiring dengan kesuksesan novel Laskar Pelangi dan adaptasi filmnya yang berjudul sama. Kesuksesan kisah tentang masa kecil Andrea Hirata, sang penulis novel tersebut, yang menayangkan eksotisme Pulau Belitung tersebut berdampak juga pada pariwisata Provinsi Bangka Belitung. Harian lokal Rakyat Pos memberitakan bahwa terjadi kenaikan penumpang angkutan udara di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang. Hal yang sama pun terjadi di Bandara H. AS. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, dengan kenaikan pada periode Januari-Februari 2013 mencapai 4,4 persen.
Meningkatnya jumlah wisatawan tersebut juga menambah berjamurnya agen-agen perjalanan yang menawarkan berbagai paket liburan. Salah satu paket liburan yang menjadi andalan di Pulau Belitung selain wisata Laskar Pelangi ialah wisata pulau (island tour). Wisata dengan perahu nelayan ini memiliki rute tetap, apapun agen perjalanan yang digunakan. Start dari Pantai Tanjung Kelayang yang merupakan lokasi event tahunan Sail Belitong-Wakatobi, pengunjung akan diantar mendekati Batu Komodo sebelum berkunjung ke Pulau Pasir, Pulau Batu Berlayar, Pulau Burung, dan Pulau Lengkuas. Walau disebut wisata pulau, namun daya tarik sesungguhnya ialah keberadaan batu-batu granit berukuran raksasa dengan bentuk-bentuknya yang unik. Bisa dibilang, inilah geotrek laut di Pulau Belitung.

Picture12

Jalur wisata pulau di Tanjung Kelayang

Pantai Tanjung Kelayang
Pantai ini dikenal karena menjadi lokasi event tahunan Sail Belitong-Wakatobi. Lokasi pantai ini tidak jauh dari Pantai Tanjung Tinggi yang menjadi lokasi syuting film Laskar Pelangi. Seperti Tanjung Tinggi, di pantai ini pun banyak terdapat bongkah-bongkah granit dengan Batu Komodo sebagai point of view pantai ini. Tumpukan granit yang menyerupai reptil ini berada di lepas pantai. Pengunjung yang ingin mengambil gambar dari dekat bisa dilakukan dari atas perahu saat wisata pulau (island tour).

P1060483

Batu burung, ada juga yang menyebutnya batu komodo, landmark Tanjung Kelayang

Pulau Pasir
Pulau ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai gosong pasir karena hanya terdiri dari gundukan pasir yang berada di tengah laut. Sama seperti gosong pasir pada umumnya, Pulau Pasir ini pun terbentuk akibat dinamika gelombang dan arus laut di perairan sekitarnya dan umumnya hanya muncul saat muka laut surut. Oleh karena itu, pulau ini merupakan pulau pertama yang disinggahi dalam wisata pulau. Selain hamparan pasir yang berbentuk melengkung di tengah laut, daya tarik lain pulau temporer ini ialah kehadiran spesies bintang laut berduri (Protoreaster nodosus).

P1060538

Pulau Pasir atau lebih tepat disebut gosong pasir

Pulau Batu Berlayar
Deretan granit setinggi kl 10 meter yang berbaris tegak seperti deretan layar pada perahu layar, itulah daya tarik Pulau Batu Berlayar ini. Pulau ini tidak selalu menjadi pulau kedua yang dikunjungi. Saat cuaca kurang bersahabat, pulau ini justru menjadi pulau terakhir yang dikunjungi setelah Pulau Lengkuas dan Pulau Burung. Memang tidak banyak yang bisa dieksplor dari pulau ini selain pesona deretan granit dan perairan sekitarnya yang dangkal dan jernih.

DSCF1546

Deretan batu di Pulau Batu Berlayar

Pulau Burung
Berbeda dengan Pulau Batu Berlayar, pulau ketiga yang dikunjungi dalam paket wisata pulau ini tidak hanya berisi granit. Pulau ini sudah berpenghuni walau hanya beberapa KK yang berprofesi sebagai petani rumput laut dan nelayan. Di pulau ini pengunjung bisa melakukan observasi pulau ataupun hanya sekedar berfoto di sekitar pantainya. Setidaknya ada 3 objek foto yang menarik, yaitu Batu Garuda, Batu Becinte dan kumpulan bintang laut jenis Sclerasterias yang benyak terdapat di pesisir Pulau Burung.

Picture1

Atas: Batu Garuda yang merupakan daya tarik utama Pulau Burung. Kiri Bawah: bintang laut yang banyak terdapat di pesisir Pulau Burung. Kanan Bawah: Batu Becinte yang diunduh dari situs http://www.belitungland.com

Sesuai namanya, Batu Garuda merupakan granit yang bentuknya menyerupai kepala Garuda Pancasila yang merupakan lambang negara kita. Granit yang fotogenik ini tidak berada tepat di pulau, namun agak ke tengah. Saat surut, batu ini dapat disinggahi dengan berjalan kaki karena kedalaman air hanya sebatas paha orang dewasa. Namun saat pasang, kedalamannya bisa mencapai hingga 2 meter.
Batu Becinte berada di sisi lain Pulau Burung, agak berjauhan dengan Batu Garuda. Disebut becinte mungkin karena sepasang tiang granit yang “menempel” ini mirip seperti orang yang sedang bercinta.

Pulau Lengkuas
Inilah pulau terluar, terjauh, dan terfavorit bagi para peserta wisata pulau sekaligus pulau yang paling lama disinggahi. Entah mengapa pulau ini disebut lengkuas, padahal tidak terlihat adanya tanaman lengkuas yang tumbuh di sekitar pulau ini. Ciri khas utama pulau ini ialah keberadaan mercusuar yang dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda. Ketika mercusuar ini dibangun, nama lengkuas sudah digunakan untuk menyebut pulau ini.

DSCF1395

Pulau Lengkuas dengan mercusuar yang menjadi ciri khasnya

Banyak objek menarik di pulau ini, seperti bermain-main atau berendam di antara hamparan granit, berenang, menikmati keindahan pulau dari atas mercusuar, snorkling, atau sekedar menikmati suasana pulau sambil menyantap kelapa muda. Ada yang menarik dari hamparan granit di pulau ini, yaitu arah kemiringan bongkahannya yang nampak seragam. Orientasi kemiringan tersebut membuat bongkahan granit tersebut seperti menggantuk. Arah orientasi kemiringannya relatif ke utara, mungkin terjadi lebih karena pola rekahan pada granit tersebut mengingat pada batuan beku jenis granit, tidak lazim terdapat kemiringan lapisan batuan.

P1060572

Hamparan granit di Pulau Lengkuas dengan kemiringan yang seragam. Arah utara berada di kiri foto.

Pulau ini sebenarnya tidak berpenghuni, hanya petugas jaga mercusuar beserta beberapa temannya yang menghuni pulau ini. Pengunjung bisa naik ke mercusuar setelah menyumbang uang seikhlasnya namun tidak boleh kurang dari Rp 5000,- yang dimasukkan ke dalam kotak yang telah disediakan. Dari puncak mercusuar, kita bisa melihat keindahan pulau-pulau yang dikunjungi sebelumnya dengan latar belakang daratan utama Pulau Belitung. Jernihnya perairan pulau membuat kumpulan koral dan gradasi biru di sekitar pulau terlihat jelas. Perbatasan zona koral dan perairan dalam ternyata menjadi lokasi snorkling di pulau ini.
Fasilitas snorkling yang disediakan pengusaha wisata tur terbilang lengkap termasuk pelampung standar dan kacamata yang telah disewa di Tanjung Kelayang sebelum memulai wisata pulau. Perlengkapan tersebut merupakan pilihan pengunjung, bagi mereka yang mahir menyelam, biasanya tidak menyewa pelampung. Tak ada batasan waktu bagi pengunjung untuk menikmati keindahan bawah laut Pulau Lengkuas. Kalaupun ada, batasan tersebut ialah cuaca yang kurang bersahabat di sore hari.

Kota batu di tengah laut
Wisata pulau yang sudah dijalankan selama ini merupakan awal yang bagus untuk mengenalkan pesona Pulau Belitung selain lokasi syuting film Laskar Pelangi di Tanjung Tinggi dan Gantong. Tanjung Kelayang beserta 4 pulau lain cukup untuk merepresentasikan menikmati pantai ala Belitung.
Tumpukan granit itu sendiri sebenarnya banyak juga dijumpai di daratan. Namun tanpa cerita geologi yang dikemas dengan baik, tumpukan granit tersebut tidak lebih dari sebuah gunung batu yang hanya menantang untuk didaki walau tidak tinggi. Padahal granit tersebut berusia 200 juta tahun atau pada jaman Trias (Priem et al., 1975 dalam Baharuddin dan Sidarto, 1995), awal mula era dinosaurus mendominasi planet bumi. Menarik untuk diketahui, bagaimana granit yang sejatinya batuan dalam perut bumi dapat terekspos ke permukaan bahkan muncul di tengah laut dengan bentuknya yang unik dan fotogenik.
Hamparan granit tersebut memberikan keharmonisan warna alam yang indah dipandang. Perpaduan antara biru lautan, putih granit dan biru langit dari atas perahu menghasilkan eksotisme pantai yang tiada tara. Laksana berkunjung ke kota batu di tengah birunya laut. Penduduk setempat pun sudah potensi ini sehingga menolak semua ijin eksploitasi timah demi menjaga keutuhan kota batu tersebut.

Dimuat juga di Geomagz edisi Maret 2014