Posts Tagged ‘Ciwidey’

Daerah vulkanik memang menyajikan pemandangan yang tiada tara. Dibalik keganasannya saat erupsi, gunungapi memberikan berkah yang membuat orang tetap ingin menggerayangi tubuhnya yang berbentuk kerucut itu. Lahan yang subur merupakan keniscayaan untuk lereng gunung yang masih aktif. Hingga ada pepatah dalam sebuah lagu “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Berkah lain yang membuat orang tidak jera PDKT dengan gunungapi ialah sisa-sisa produk vulkanik yang membatu.

Suatu jejak aliran lava menebar pesonanya dengan bentukan janggal dan guanya yang memanjang. Bentukan janggal ini bahkan diyakini banyak orang sebagai karya artifisial, bukan dari alam. Kekar kolom poligonal, tekstur lava pahoehoe yang seperti selendang, merupakan satu di antara tekstur yang seakan terlalu rapi sebagai bentukan alam. Di ujung alirannya, lava membatu yang sejatinya keras ini akan merekah sebagai responnya terhadap gaya gravitasi dan kelembaman aliran. Bidang lemah ini akan mudah tererosi dan menyisakan tebing terjal di sepanjang ujung aliran nan panas membara ini. Dan air yang mengerosi itupun bertransformasi menjadi air terjun atau curug.
Citambur Genesis

Napak Tilas Aliran Lava
Salah satu curug hasil transformasi tersebut ialah Curug Citambur. Bunyi jatuhnya air yang seperti suara tambur, bur…bur…berdebur-debur membuat warga setempat menamainya demikian. Curug yang terletak di Desa Karangjaya, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Cianjur ini tampak terpencil kendati tingginya diduga mencapai 130 meter. Deburan airnya seolah menjadi teriakan jiwanya agar ia dikenal dan dijamah manusia.

Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai curug ini tidak mudah. Berlokasi dekat dengan perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, maka ada 2 jalur bisa ditempuh. Dari arah Cianjur ambil jalan menuju Sindangbarang lalu belok di pertigaan yang mengarah ke Pagelaran. Jalannya relatif baik meski agak lubang di beberapa ruas. Kondisi berbeda ditemui di jalur kedua dari arah Bandung. Jalan mulus dari Bandung hingga Perkebunan Teh Rancabali dan Sinumbra sayangnya tidak berlanjut hingga perbatasan dengan Kabupaten Cianjur di jembatan Cisabuk. Jalan penghubung Ciwidey di Bandung dengan Pagelaran di Cianjur ini berbatu dan belum beraspal sepanjang lk 5 km di ruas Desa Cipelah. Padahal jalur perekonomian ini sangat penting untuk mengangkut hasil bumi di antara kedua lokasi.

Jalur Rancabali ini pun merupakan jalur terbaik jika ingin menuju ke Curug Citambur. Hamparan kebun teh yang hijau, udara yang sejuk, dan perbukitan yang masih menghijau menjadi bonus sebagai penyegar mata sebelum mencapai curug yang lebih terpencil lagi. Bongkah bebatuan yang tersusun dari andesit tampak mencuat di antara kebun teh yang berkontur. Bebatuan ini terbentuk dari lava gunungapi yang telah membeku. Andesit menunjukkan komposisi lava yang asam sehingga membentuk struktur lava bongkah (blocky lava).

P1070985

Perkebunan teh Rancabali

Setidaknya terdapat dua gunungapi di sekitar kebun teh Rancabali dan Sinumbra ini, yaitu Gunung Patuha dan Gunung Kendeng. Kedua gunungapi tipe B ini saat masih aktif mengalirkan lavanya ke lereng sekitarnya. Di beberapa tempat bahkan saling bertemu dan membentuk lembah yang menjadi jalur jalan Ciwidey-Pagelaran ini. Singkapan lava bongkah ini akan ditemui di sepanjang jalan dari Rancabali hingga mendekati Curug Citambur. Menempuh jalur ini ibarat tengah menapak tilas aliran lava hingga ke ujung alirannya.

Kesegaran Ujung Aliran Lava
Lava merupakan cairan pijar bersuhu tinggi yang keluar dari perut bumi. Suatu aliran lava bisa mencapai jarak puluhan kilometer tergantung derajat keasamannya. Semakin asam lava tersebut, semakin cepat ia membeku sehingga alirannya tidak jauh dari tempatnya keluar. Lava basa bisa mengalir hingga puluhan kilometer, membentuk apa yang disebut sebagai sungai lava seperti di Gunung Killuea, Hawaii.

Di ujung aliran lava inilah Curug Citambur meluncur turun setinggi lk 130 meter. Bagian atas tebing tempat curug ini berasal yang masih hijau membuat airnya terasa jernih dan menyegarkan. Hulu sungai berasal dari kaki Gunung Kendeng yang menurut peta masih belum ada pemukiman. Jatuh dari ketinggian seperti ini, air akan mengalami proses airasi, yaitu bercampurnya oksigen bebas di udara dengan butiran air selama air tersebut jatuh. Inilah mengapa air yang jatuh di tebing seperti airterjun terasa begitu menyegarkan.

P1080039

Curug Citambur

Curug ini sebenarnya memiliki dua undakan, yang pertama merupakan yang tertinggi. Di hilirnya disambung oleh undakan kedua yang lebih lebar namun tidak seberapa tinggi dibanding undakan pertama. Bebatuan pada undakan pertama tersusun dari singkapan lava, kemungkinan berjenis andesit. Di bagian dasarnya berupa breksi vulkanik yang menjadi pijakan bagi pengunjung yang ingin mendekati curug ini.

Walau sungainya mengalir pada aliran lava, namun pengunjung yang mendekati curug ini dijamin basah kuyup. Percikan airnya yang pecah selama jatuh dari tebing membuat suasana di bawah curug ini dilanda hujan lokal. Lindungi dahulu peralatan elektronik yang alergi terhadap air. Hati-hati saat melangkah karena jalan yang selalu basah, terlebih belum adanya pagar pengaman dan sarana untuk lalu lalang pengunjung.

Namun, berkunjung ke curug ini jika tidak basah akan terasa garing, laksana makan bakso tanpa kuah. Sensasi kesegarannya dijamin lebih terasa walaupun hanya terguyur percikan airnya, karena memang terdapat larangan berenang di sekitar curug. Terdapat sarana MCK yang sudah permanen walau tanpa pintu, jadi tidak perlu khawatirkan tempat membilas dan berganti pakaian. Airnya berasal dari bagian dasar curug yang dialirkan melalui saluran irigasi yang melewati bagian depan fasilitas MCK ini. Jadi masih jernih dan higienis bahkan untuk diminum sekalipun.

Tebing Naik Air Turun
Curug Citambur jatuh pada tebing yang membentang di sepanjang kaki Gunung Kendeng bagian barat-baratdaya. Belum diketahui dengan pasti bagaimana tebing di sini bisa menjulang begitu tinggi. Interpretasi sementara berdasarkan batuan pembentuk tebing tersebut ialah bahwa tebing ini berupa ujung dari aliran lava yang tererosi. Proses pengerosiannya seperti yang telah disebutkan di awal tulisan. Di sekitar kaki tebing memang terhampar bongkah-bongkah batu, umumnya breksi, yang dulunya tentu merupakan bagian dari tebing ini. Bentuk tebing tempat curug ini terjun pun memperlihatkan sebuah lekukan yang terbentuk dari hasil proses erosi air terjun ini.

Tetapi, ujung aliran lava walaupun tererosi biasanya tidak sampai membentuk tebing setinggi lebih dari 50 meter. Tentu ada pengaruh dari proses tektonik yang mengangkat tebing tersebut hingga menjulang begitu tinggi. Adanya sesar naik atau sesar normal hingga sebuah graben merupakan suatu keniscayaan yang paling memungkinkan. Terlebih dari bentuk tebingnya yang begitu tegak dan lurus memanjang, seperti yang terdapat pada lembah Ngarai Sianok di Sumatera Utara atau Gunung Batu di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Di sepanjang tebing ini memang terdapat beberapa air terjun selain Curug Citambur. Namun yang sudah dikelola menjadi objek wisata baru Curug Citambur ini. Tempat di mana tebing naik ini air tentu banyak yang turun menuju lembah di bawahnya yang lebih rendah. Tanah vulkanik yang terkenal akan kesuburannya akan ikut terbawa air dan terendapkan di lembah itu, mengundang warga untuk bermukim dan membentuk komunitas yang disebut kampung. Lambat laun kampung yang dikelilingi tebing curam itupun semakin ramai, berkembang menjadi sebuah desa. Dari Curug Citambur inilah desa di antara tebing tersebut bisa dilihat jelas, lengkap dengan curug lain yang mengiringi deburan air Curug Citambur.