Posts Tagged ‘Gasibu’

Monumen Perjuangan di minggu pagi

Hari Minggu tanggal 22 Februari 2009. Seperti biasanya, gasibu penuh dengan berbagai pedagang beserta barang dagangannya yang bermacam-macam. Ada juga orang yang mengadakan atraksi seperti topeng monyet dan pertunjukkan ular. Pengunjung yang hadir pun tidak kalah ragamnya. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Ada yang bergandengan, ada juga yang merengek-rengek dalam gendongan.

Karena saya pendatang, saya tidak tahu sejak kapan gasibu beralih fungsi menjadi pasar rakyat setiap akhir pekan seperti ini. Begitu banyak pedagang dan pengunjung yang berdatangan. Begitu ramai juga suasanya dengan suara para pedagang yang mencoba menarik perhatian pengunjung agar setidaknya mampir dan melihat-lihat barang dagangannya. Dengan harapan akan membeli tentunya.

Tetapi tidak sedikit juga pedagang yang hanya duduk diam sambil merawat dagangannya. Entah karena capek atau memang hanya sebatas itu usahanya. Yang jelas setiap kali ada pengunjung yang melirik ke arah dagangannya, mereka mempersilakannya untuk melihat lebih lama lagi sambil mempromosikan keunggulan barang dagangannya. Harga yang murah, kualitas yang baik, tahan lama, kelangkaan, dan lain-lain.

Mereka bersaing, mereka berusaha, mereka menarik perhatian sebaik dan sesehat mungkin agar para pengunjung merasa nyaman untuk melihat-lihat. “Ma blas tiga…., ma blas tiga..!”, “penghabisan..penghabisan..”,”ini tahan lama ya, satu tahun dipakai tidak akan rusak..”. Begitulah usaha mereka dalam menarik perhatian para pengunjung. Sederhana, singkat, sedikit melebihkan dan kadang-kadang tidak perlu menggunakan kata-kata yang baku.

Meskipun terdapat berbagai pedagang, bahkan tidak sedikit yang menawarkan barang yang serupa, tidak saya temukan pedagang yang saling menjelekan pedagang lain, sejenis maupun tidak. Mereka hanya sebatas menawarkan dengan mengutarakan kelebihan dan kualitas dagangannya.

Yang menarik ialah, pedagang yang berdekatan, saya amati hanya salah satu saja yang berteriak mempromosikan dagangannya. Entah dengan berteriak lantang atau dengan bantuan pengeras suara, yang jelas hanya satu orang saja yang bersuara paling lantang. Yang lainnya biasanya baru bersuara jika ada pengunjung yang melihat dagangannya.

Saya tidak tahu apakah tindakan tersebut terjadi dengan sendirinya atau sudah disepakati sebelumnya. Namun hal tersebut cukup membuat saya tertarik. Ternyata masih ada rasa kepedulian dalam berusaha, tidak saling menjatuhkan dan saling menghargai usaha masing-masing. Meskipun dalam level usaha keliling seperti ini.